Selasa, 23 Oktober 2012

Perahu Kertas (Quotations) #2

Bab 44, Cinta Tak Berujung.

Balkon belakang itu hanya berbentuk dak beton. Sebuah kursi dan meja plastik terparkir di sana. Tampak siluet Kugy duduk memunggunginya. Kepalanya menengadah, menatap langit senja. Rambutnya tergerai di sandaran kursi, berkibar halus ditiup angin.

Keenan menahan napas. "Kecil..."

Siluet itu terduduk tegak seketika. Kugy menoleh, mendapatkan Keenan sudah berdiri di hadapannya. "Kamu... kok... bisa ada di sini?" ia bertanya, terbata.

"Radar Neptunus", jawab Keenan ringkas seraya tersenyum sekilas. Ia lalu berjalan mendekati Kugy. Berjongkok di depannya. "Kenapa harus ngilang, Gy?" tanyanya halus.

"Aku juga nggak tahu kenapa", Kugy menggelengkan kepala, "tiap hari aku di sini, cuma untuk cari tahu kenapa. Dan masih belum tahu jawabannya".

"Saya mau bantu kamu. Boleh?" Keenan lantas meraih tangan Kugy. "Empat tahun saya kepingin bilang ini: Kugy Karmachameleon, saya cinta sama kamu. Dari pertama kali kita ketemu, sampai hari ini, saya selalu mencintai kamu. Sampai kapan pun itu, saya nggak tahu. Saya nggak melihat cinta ini ada ujungnya".

Kugy terenyak. Pandangannya mulai mengabur. Matanya terasa panas oleh air mata yang ingin bergulir turun tapi ia tahan.

...

"Luhde nggak layak disakiti," desis Kugy lagi.

"Remi juga", timpal Keenan lirih.

Kugy menunduk, mengerjapkan mata. Ia hampir tidak bisa melihat apa-apa lagi dari matanya yang kian mengabur.Hari semakin gelap. Angin semakin halus. Hatinya semakin perih.

"Banyak sekali yang ingin saya lakukan bareng kamu, Gy", bisik Keenan.

Kugy mendongak. Tersenyum sebisanya. "Bisa. Pasti bisa. Kita tetap bisa bikin buku bareng, kan? Dan aku tetap bisa jadi sahabatmu". Kugy nyaris tersedak mengucapkan kata terakhir barusan. Menyadari bahwa persahabatan barangkali adalah muara terakhir yang harus ia paksakan untuk menampung seluruh perasaannya pada Keenan. Tak bisa lebih dari itu. Begitu luas laut yang membentang dalam hatinya. Namun, lagi-lagi, harus ia tahan.

"Iya. Kita tetap bisa bikin karya bersama. Dan kita selalu menjadi sahabat terbaik", Keenan menelan ludah. Kalimat itu begitu susah diucapkan. Apalagi ketika segenap hatinya berontak, menolak. Namun, ia teringat janjinya, pada Luhde, pada Remi. Jika ini memang bantuan yang Remi butuhkan, sama seperti ketika Remi menolongnya dulu, maka ia akan menggenapkannya.

"Nan...", Kugy menggenggam balik tangan Keenan, suaranya makin lirih, "banyak yang aku ingin bilang ke kamu. Banyak yang ingin aku kasih. Tapi, nggak apa-apa, nggak usah. Mungkin memang bukan jatahku. Bukan jatah kita.Kamu turun ya, Nan, pulang".

Kenan mengangguk. Memang tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Hanya akan membuat hatinya makin terluka. "Kamu juga jangan kelamaan di sini, Gy. Udah malam." Keenan menyentuh pipi Kugy sekilas. Perlahan, berjalan pergi.

Air mata Kugy akhirnya jatuh bergulir, membuat pandangannya kembali terang, meski langit sudah gelap, dan Keenan tinggal bayangan hitam yang berjalan menjauh. "Nan...", panggilnya.

"Ya?", Keenan berbalik.

"Aku nggak kepingin, sepuluh .. dua puluh tahun lagi dari sekarang, aku masih merasa sakit di sini tiap kali ingat kamu." Kugy merapatkan tangannya di dada.

Keenan tercekat mendengarnya. "Nggak, Gy. Nggak akan. Kalau saya bisa, kamu juga bisa"

"Dan kamu yakin kamu bisa?", tangis Kugy.

"Pasti..." Suara Keenan bergetar. Penuh keraguan, kebimbangan, da kegentaran. Namun, ia tak mungkin lagi mundur. Satu-satu, dituruninya tangga besi itu. Lenyap dari pandangan Kugy. Harus ada yang bisa, batinnya, kalau tidak... Keenan menggosok matanya yang berkaca-kaca. Ia tidak bisa mengingat, kapan hatinya pernah sepilu ini.

Di tempat yang sama, Kugy menangis bisu. Ia berjanji, inilah tangisan terakhirnya untuk Keenan, sekaligus tangisan yang paling menyakitkan. Ia bahagia sekaligus patah hati pada saat yang bersamaan. Saat ia tahu dan diyakinkan bahwa mereka saling mencintai, dan selamanya pula mereka tidak mungkin bersama.

-Perahu Kertas, Dewi Lestari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar