Minggu, 21 Oktober 2012

Surat kecil untuk... kamu, dan Tuhan

Tuhan, aku kangen dia. Kangen tawanya, kangen senyumnya, kangen dia. Kangen lembutnya, kangen baiknya, kangen dia. Kangen tangannya yang selalu sigap merangkulku saat aku butuh, kangen lengannya yang siap dijadikan tempat bersandar. Kangen percakapan tengah malam kita yang ngaco tapi penuh tawa. Bersamanya, aku lupa kesedihanku. Bersamanya, dunia tak lagi sama. Tuhan, aku kangen dia.

Tuhan, tahukah ia kalau aku rindu telinganya yang siap sedia mendengar curhatku? Badannya yang siap membantu, kakinya yang siap mengikuti kemanapun aku melangkah. Dimana dia sekarang? Aku merindukannya.

Tuhan, terima kasih sudah menghadirkan manusia sejuta warna itu dihidupku. Ia hadir saja sudah cukup. Apakah aku kelewatan karena selalu meminta lebih dari-Mu, dan.. darinya?

Tuhan, maafkan kalau aku selalu meminta lebih. Maafkan kalau aku selalu berharap terlalu tinggi. Harapan itu sangat istimewa. Dalam Bejana Pandora, atau yang disebut Pithos dalam Bahasa Yunani, hal terakhir yang ada di dalam bejana itu adalah harapan, yang berkepak-kepak kelelahan, yang berjuang keras untuk tidak dilepaskan. Harapan adalah pegangan terakhir manusia saat tak ada lagi yang bisa menyelamatkan. Namun, harapan bisa membantumu, atau bisa menghancurkanmu bagai mata pisau. Jika kau terlalu berharap, jatuhnya akan sakit. Sangat, sakit. Makanya aku jadi takut untuk berharap.

Tapi, harapan juga pelarian dari realita, dari kenyataan. Dan, tahukah ia, Tuhan? Kalau dalam setiap doaku , kalau aku boleh berharap, aku berharap bisa kembali dengannya, dalam bisikku aku berharap bisa menikmati tawanya, dalam sepiku aku berharap aku bisa kembali ada disisinya. Aku kangen dia, Tuhan.

Tuhan, aku capek. Aku capek harus selalu berharap, harus selalu menunggu. Bahkan aku juga bingung apa yang aku tunggu. Selama ini yang aku tunggu hanyalah ketidakpastian. Selama ini yang kutunggu hanyalah harapan, hanyalah mimpi. Aku dan dia kembali akrab hanyalah mimpi, Tuhan. Sakit sekali saat mengingat kalau yang dulunya nyata sekarang berubah menjadi mimpi.

Tuhan, apakah aku salah mengharapkannya, aku tak tahu. Dia tak tahu. Tiada yang tahu.

Tuhan, pernahkah ia melihat gelas yang pecah? Kalau kuibaratkan gelas itu aku, dan tangannya adalah harapan, maka ia telah menggenggamku, mengayunkan tangannya setinggi mungkin dan aku pun melayang, dan ternyata ia melepaskan pegangannya, dan aku pun perlahan terjatuh, berharap ada tangan lain yang akan menangkapku. Tapi tak ada. Aku pun terjun bebas, dan akhirnya pecah berserakan. No one can fix it.

Tuhan, apa jadinya bila orang yang membuat hatimu hancur adalah satu-satunya orang yang dapat merekatkannya kembali?

Tuhan, ada satu bagian dalam dadaku yang terasa sakit saat aku menulis ini. Seperti pecahan gelas yang menusuk tangan, seperti serpihan duri yang menyayat pergelangan. Tapi Tuhan, aku merasa hampa. Kosong. tak berdaya. Aku capek, Tuhan untuk terus seperti ini, bergulat dengan keyakinan, harapan, dan kenyataan itu sendiri.

Aku kangen kamu.
P.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar